Ramadan,dan Maraknya Pedagang Musiman yang Nyari Berkah

Bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah dan penuh rahmat. Tentu, tanpa musyawarah desa sekalipun, semua orang sepakat soal ini. Orang-orang, khususnya muslim akan berlomba-lomba menabung kebaikan demi mendapatkan pahala. Sebab, beribadah di bulan Ramadan bakal diganjar pahala berlipat-lipat oleh gusti Allah. Kalau toh ada orang yang berbuat maksiat, itu soal lain. Dan itu biar jadi urusan si orang tersebut dengan tuhannya. Tak perlu saya bahas disini.

Ramadan, bulan di mana kita biasa melakukan puasa, tarawih, sahur, dan bukber, akan menjadi bulan yang sangat berharga bagi diri kita jika kita senantiasa mengerjakan amal saleh. Mengisi waktu luang di bulan Ramadan, nggak melulu dengan tidur atau rebahan, tapi bisa kita isi dengan baca qur’an, berdzikir hingga berbagi takjil kepada kaum papa.

Kegiatan-kegiatan positif tersebut yang seharusnya dikerjakan oleh orang muslim, terlebih oleh pemuda. Jadi, jangan sampai kita rugi karena menggunakan waktu di bulan Ramadan dengan sia-sia belaka.

Di bulan Ramadan kita diwajibkan untuk berpuasa, serta sangat dianjurkan untuk melaksanakan bentuk ibadah lainnya, seperti sholat sunah rawatib, bersedekah, hingga membantu yatim piatu. Namun demikian, bulan Ramadan nggak hanya soal ibadah saja, ibadah kita kepada sang khalik, tapi juga soal perekonomian atau hubungan manusia dengan manusia lainnya (muamalah).

Sisi perekonomian tersebut bisa kita lihat dengan maraknya pedagang atau pelaku usaha kecil yang tersebar di pasar-pasar hingga di pinggir jalanan. Biasanya, kita akan menemui banyak pedagang pada waktu sore hari menjelang berbuka puasa. Betul nggak besti?. Para pedagang ini tentu memperjualbelikan aneka makanan dan minuman, meski ada yang berjualan selain yang dimakan dan diminum.

Dagangan yang dijajakan oleh para pedagang ada banyak jenisnya. Dari mulai es barteh hingga es degan, dari kue kering hingga roti bakar, dan dari sate ayam hingga capcay. Dengan hal ini, masyarakat yang membutuhkan sesuatu tak perlu bingung, karena segala jenis makanan dan minuman (insyaallah) tersedia di pasaran. Tinggal dipilih mau beli apa, tentunya membelinya harus pakai uang sendiri, jangan pakai uang korupsi.

Sore hari di bulan Ramadan adalah waktu yang berharga bagi pelaku usaha atau pedagang. Sebab, di waktu sore hari, dagangan mereka sedang diburu oleh banyak orang. Dengan banyaknya orang yang membeli, keuntungan yang bisa didapat pun bisa berlipat-lipat. Dengan keuntungan yang berlipat itu akhirnya bisa mencukupi kehidupan sehari-hari.

Baca juga nih: 22 Tempat Wisata Hits dan Terbaru Di Semarang

Pedagang yang berjualan saat menjelang maghrib, nggak cuma di dominasi oleh pedagang senior, bahkan pedagang musiman pun cukup merajalela. Yang disebut pedagang musiman adalah orang yang melakukan transaksi jual beli atau melakukan pertukaran, baik berupa barang dan jasa yang dilakukan pada waktu atau tempat tertentu. Saya kasih contoh misalnya pedagang bendera merah putih, yang biasanya banyak bertebaran saat bulan Agustus, atau pedagang terompet yang muncul jelang tahun baru.

Nah, waktu tertentu yang dimaksud dalam konteks tulisan ini tentu saja adalah Ramadan, bulan penuh berkah, penuh rahmat, dan bulan yang sangat istimewa. Pedagang musiman di bulan Ramadan ini, adalah mereka yang di hari-hari biasa nggak melakukan transaksi jual beli, tapi tiba-tiba melakukannya di bulan Ramadan. Tentu, mereka melakukannya, selain untuk meramaikan khazanah Ramadan, juga untuk memburu cuan.

Mereka memanfaatkan momen Ramadan untuk menambah rezeki. ‘Ngalap berkah’ kalau orang jawa bilang. Mereka nggak mau ketinggalan momen yang penuh berkah ini. Dengan modal yang mungkin seadanya, mereka berlomba-lomba mendirikan warung (red: lapak), entah di depan rumahnya sendiri atau ikut nimbrung di tempat yang agak ramai oleh lalu lalang umat manusia. Bukan di padang mahsyar tapi ya.

Sama seperti pedagang pada umumnya, pedagang musiman ini juga menjajakan berbagai aneka barang atau jasa. Kalau di bulan Ramadan, acapkali pedagang musiman ini identik dengan pedagang barteh (timun suri), kolak, sop buah, hingga krico. Selain itu, terdapat pula pedagang aneka sosis bakar, es degan, es kopyor, kurma, dan lain-lain, yang mencari keuntungan dengan datangnya bulan Ramadan.

Mereka, orang-orang yang berjualan di bulan Ramadan, merupakan orang-orang yang mengadu nasib, tentu saja sebagai upaya mempertahankan kehidupan. Kadang memang untuk bertahan hidup butuh bekerja keras. Dengan berdagang, akhirnya mereka punya uang. Dengan adanya uang, akhirnya mereka bisa membeli sembako, yang akhirnya mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, dan bisa berbuka puasa.

Kita perlu apresiasi para pedagang musiman ini. Nggak ada yang salah dari apa yang mereka lakukan. Yang terpenting dagangan yang mereka jual belikan adalah sesuatu yang halal. Mereka nggak jualan barang haram atau sesuatu yang mudharatnya lebih banyak ketimbang maslahatnya. Soal ini, nggak perlu saya jelaskan lebih detail. Biar lain kali saja. Kalau saya nggak malas tapi ya.

Mereka, para pedagang musiman, sangat jeli melihat peluang. Mereka tahu bahwa tingkat konsumsi masyarakat muslim di bulan Ramadan cukup tinggi. Kebutuhan akan makanan dan minuman, demi melepas dahaga, setelah 13 jam menahan lapar dan haus, menjadi sesuatu yang dicari oleh masyarakat. Tingkat konsumsi yang amat tinggi dari masyarakat membuat mereka (pedagang musiman) akhirnya aktif berjualan.

Oleh karenanya, jangan kaget ketika melihat di tempat-tempat tertentu terjadi kemacetan. Biasanya di jalan-jalan khusus (jalan utama menuju suatu desa atau jalan dekat alun-alun). Sebab di tempat tersebut sedang terjadi transaksi jual beli oleh masyarakat. Masyarakat banyak yang berburu takjil atau sekadar jalan-jalan cuci mata.

Kita, sebagai orang yang ikut mengonsumsi, patut berterimakasih kepada para pedagang musiman. Dengan adanya mereka, kita punya banyak pilihan barang atau makanan/minuman yang ingin dibeli, sehingga hidangan di meja makan saat berbuka puasa dapat penuh warna. Meskipun begitu, kita nggak boleh berlebihan dalam mengonsumsi segala sesuatu. Karena segala sesuatu yang berlebihan (al-ghuluw) adalah tidak baik.

*Baca juga esai-esai menarik di Platform Media Opini & Esai kotomono