Cacat dan penyakit di sini mengacu pada cacat fisik dan mental yang tidak dapat dihilangkan atau dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang lama. Bagi kalian yang tidak ingin mengalami kasus kekerasan mental silahkan ikut konseling pernikahan online di Konselorindo.
Para ulama berbeda pendapat tentang batalnya perkawinan karena cacat. Di dalamnya, Imam Malik, Syafi’I dan para pendukungnya berpendapat bahwa jika salah satu dari
pasangan menemukan cacat fisik atau mental pada pasangan yang mencegah pernikahan berlanjut. , berpendapat bahwa salah satu dari
pasangan dapat memilih untuk melanjutkan pernikahan.
Menikah untuk menceraikan atau memperpanjang perkawinan.7
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Fasaf dapat melaksanakan cacat apapun dalam bentuk yang dapat menghilangkan kedamaian,
cinta dan kasih sayang. Ulama Hanafiyah, di sisi lain, berpendapat bahwa
suami tidak memiliki hak fasakh karena istri cacat. Jika suami tidak berdaya, satu-satunya yang berhak atas Fasakh adalah istri.8
Ulama juga berbeda pendapat mengenai bentuk-bentuk kecacatan yang diperbolehkan Fasakh.
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid , As-Syifa’, 1990 h. Mahmud Saltut, Fiqh of the Seven Madzhabs, Bandung, Pustaka Setia. Ibn Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, (Jakarta, Perpustakaan Amani, 2007), hal. terjadi karena jenis, yaitu gila, kusta, lepra, penyakit kelamin yang mencegah zima, tulang dan daging wanita terkadang tumbuh. Untuk pria, penisnya impoten atau diamputasi.
b) Imam Abu Hanifah dengan para pengikutnya dan Ats-tsauri berpendapat bahwa seorang wanita tidak dapat menolak pernikahan kecuali dua cacat,
pertumbuhan tulang dan pertumbuhan daging.
2) Suami tidak memberikan dukungan
Jumhur ulama’ (terdiri dari Imam Malik, Syafi’i, 10 Di sisi lain, Imam Abu Hanifah dan Attu Tsauri mengklaim bahwa kedua suami istri itu tidak berpisah adalah perbuatan. She 10 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana, 2008, hlm. Dinyatakan bahwa istri harus bersabar dengan tanggung jawab suaminya yang tidak dapat dijadikan sebagai Imam Malik dan Imam Ahmad mengaku menyebut perilaku suami sebagai alasan perceraian, bahkan jika suami meninggalkan harta yang bisa digunakan istri untuk mencari nafkah. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini.
Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa istri tidak berhak menuntut cerai. Namun, hakim mengancam suaminya dan melarangnya mengejarnya sampai suami berhenti mengejarnya, melalui mediasi antara keduanya, saya berhak memilih, dan saya berpendapat diperbolehkan untuk diperas. Silahkan ikut konseling pernikahan online agar langgeng.