Cerita WNI Pemetik Buah di Australia, Seminggu Rp 30 Juta

Pekerja di perkebunan Australia saat ini dapat tersenyum lega. Lembaga Fair Work Comission segera memberlakukan upah minimum untuk pekerja. Selama ini upah dibayarkan bersumber pada jumlah buah yang dipetik. Keputusan itu akan diberlakukan segera setelah disetujui pada awal November.

Serikat Pekerja Australia( AWU) mengajukan klaimnya kepada komisi tersebut pada bulan Desember. Upah minimum tiap pekerja wajib dipastikan ialah AUD$ 25, 41 ataupun lebih dari Rp 250 ribu per jam.

Walaupun lebih dahulu tak ada jaminan pembayaran upah minimum, untuk sebagian masyarakat negara Indonesia yang bekerja di perkebunan Australia, pemasukan mereka lebih besar dibanding di dalam negeri.

Husniati misalnya. Wanita berumur 26 tahun asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, ini adalah salah seseorang pemegang visa Working Holiday( WHV). Dia datang di Australia semenjak Maret 2020.

Husniati sudah bekerja di sebagian ladang pertanian di negara bagian Queensland. Mulai pekan depan dia akan bekerja sebagai pemetik buah cherry di Shepparton, sekitar 190 km dari kota Melbourne.

” Saya telah sempat bekerja memetik buah lemon, pula memetik tomat di Queensland,” 

Dia sempat bekerja dengan sistem upah dibayar per keranjang. Dia pula sempat merasakan mendapatkan upah dengan hitungan per jam.

Apabila diminta memilih, sistem bayaran bersumber pada berapa banyak keranjang dari hasil buah yang dipetiknya tiap hari berikan pemasukan lebih besar. Harga upah per keranjang umumnya telah disepakati oleh owner kebun serta pekerja.

” Saat ini saya mendapat upah lebih besar dari pemetikan per keranjang. Jam kerjanya lebih pendek tetapi pendapatannya lebih besar,” katanya.

Husniati berkata dia sempat mendapatkan hampir AU$ 3. 000 ataupun sekitar Rp 30 juta per pekan ketika memetik buah per keranjang. Sedangkan bila dibanding dengan bayaran upah dihitung per jam saat itu, dia mendapatkan antara AU$ 1. 200 hingga AU$ 1. 500 ataupun sekitar Rp 12- Rp 15 juta per pekan.

Bagi Husniati, selama pandemi COVID- 19 banyak lowongan kerja sebagai pemetik buah di Australia, sebab bekurangnya pekerja WHV serta backpacker. Dia saat ini dapat dapat memilih pekerjaan yang sesuai keinginannya.” Saat ini ini kerjaan yang mencari kami, bukan kami yang mencari kerja,” katanya.

Husniati hanya satu dari sekian banyak pekerja Indonesia di Australia. Pemegang working holidya visa ataupun WHV Australia yang lain, Ricky Malvin saat ini bekerja di perkebunan mangga di Dimbullah, kota kecil dekat Brisbane.

Mantan pegawai bank di Indonesia ini menjadi pekerja perkebunan di sela- sela berliburnya di Australia. Dia lebih suka mendapat upah per jam dibanding jumlah buah per keranjang.

Keputusan dari Fair Work Commission mengenai perubahan sistem upah belum formal diberlakukan. Owner perkebunan yang tak sepakat dengan keputusan tersebut dapat mengajukan banding sebelum akhir 2021.

Salah satu owner kebun pertanian, Michael Cunial berkata upah minimum amat memberatkan petani. Sebabnya lahan ceri miliknya tak senantiasa menghasilkan buah berlimpah. Info lebih lengkap tentang WHV bisa cek di recehandollar.com